Lozarend, Michael Donna (2014) Konsep tindakan dalam personalisme Karol Wojtyla. Undergraduate thesis, Widya Mandala Catholic University Surabaya.
Preview |
Text (ABSTRAK)
abstrak.pdf Download (813kB) | Preview |
Preview |
Text (BAB 1)
9. bab I.pdf Download (261kB) | Preview |
Text (BAB 2)
10. bab II.pdf Restricted to Registered users only Download (416kB) |
|
Text (BAB 3)
11. bab III.pdf Restricted to Registered users only Download (393kB) |
|
Text (BAB 4)
12. bab IV.pdf Restricted to Registered users only Download (288kB) |
|
Preview |
Text (DAFTAR PUSTAKA)
13. daftar pustaka.pdf Download (311kB) | Preview |
Preview |
Text (LAMPIRAN)
14. Daftar Istilah.pdf Download (154kB) | Preview |
Abstract
Manusia tidak hanya dipahami sebagai individu, melainkan persona. Konsep persona semacam inilah yang menjadi inti pemikiran Karol Wojtyła. Tesis utamanya adalah analisa tindakan (operari) manusia yang konkret yang menyatakan sifatnya secara penuh sebagai subjektivitas pribadi yang unik dan tidak dapat diganggu gugat. Menurutnya, persona dapat dilihat melalui tindakannya, dan sebaliknya, tindakan mencerminkan persona. Karol Wojtyła, yang adalah Paus Yohanes Paulus II, merupakan tokoh sejarah yang besar. Salah satu peran terbesarnya adalah turut meruntuhkan hegemoni komunisme di Eropa Timur. Tindakannya ini tidak bisa dilepaskan dari perhatiannya pada manusia sebagai persona. Di tengah problem zaman yang ditandai dengan perdebatan tentang kehidupan dan kemanusiaan, Wojtyła menyatakan dengan tegas bahwa jalan yang ditempuh Gereja adalah jalan manusia (Man is the way of the Church). Berpihak pada manusia berarti berpihak pada kehidupan. Konsep-konsep Wojtyła tentang martabat persona selalu menghiasi setiap karya dan perbuatannya, seperti solidaritas, partisipasi, suara hati, kebahagiaan, pemenuhan diri, tindakan, dan beberapa tema pokok kemanusiaan lainnya. Pembahasan mengenai tindakan persona sebagai salah satu hal pokok dalam pemikiran personalisme Wojtyła akan menjadi tema utama dalam tulisan ilmiah ini. Konteks pemikiran Karol Wojtyła adalah pada waktu Ia belum menjadi seorang Paus. Artinya, pemikiran-pemikiran tentang personalisme yang dibahas adalah pemikiran seorang Karol Wojtyła, bukan seorang Paus Yohanes Paulus II. Buku utama yang menjadi acuan tulisan ini adalah karyanya yang berjudul “The Acting Person”. Wojtyła menggunakan metode fenomenologi yang dikembangkan oleh Max Scheler. Bagi Wojtyła, metode fenomenologis membantu kita memperoleh fakta-fakta etis pada tatanan eksperimental (pengalaman), yang secara intensional diarahkan pada nilai-nilai sebagai isi objektifnya. Selain itu, Wojtyła juga memakai kacamata pemikiran metafisika Aristotelian – Thomistik. Metafisika klasik ini digunakan Wojtyła untuk mengidentifikasi manusia dengan perbuatannya dan substansialitasnya sebagai “persona yang bertindak”. Metode ini menunjukkan bahwa Wojtyła merefleksikan manusia sebagai persona dengan mengembangkan sisi hubungan horizontal (fenomenologi) dan vertikal (metafisik). xi Wojtyła memulai analisisnya terhadap persona melalui pengalaman. Pengalaman mengindikasikan relasi yang langsung dengan pengetahuan. Manusia sekaligus menjadi subjek dan objek pengalaman bertindak. Pengalaman akan dirinya sendiri („pengalaman manusia‟) membuat manusia menjalin relasi kognitif dengan diri sendiri. Pengalaman manusia ini bersumber dari pengalaman “inner” dan “outer”. Pengalaman itu kemudian membuka kesadaran kepada persona. Kesadaran membuat persona menjadi subjek yang sadar akan tindakannya. Pengalaman subjektivitas menyatakan dua segi, yakni tindakan manusia (man-acts) dan tindakan yang terjadi pada manusia (happens-in-man). Pengalaman ini adalah pengalaman efficacy (keserempakan). Efficacy berarti persona tidak hanya sebagai subjek, tetapi juga aktor. Persona sebagai subjek berarti pihak yang mengalami sesuatu terjadi, sedangkan sebagai aktor menunjuk pada orang yang menyebabkan sesuatu terjadi. Dengannya persona memiliki dinamisme (potency to actus). Adanya potensialitas dalam diri persona inilah yang memampukan persona untuk menyatakan dirinya dalam tindakan (aktus) secara sadar. Untuk menerangkan manusia sebagai subjek, Wojtyła menggunakan term suppositum humanum. Artinya, manusia adalah subjek ontologis yang mendasari tindakannya. Dengannya, manusia dipahami sebagai subjek yang personal, bukan melulu individu, dan menunjukkan bahwa tindakan memiliki dimensi personal. Kekhasan persona nampak dalam dan melalui tindakannya. Mengikuti Thomas, Wojtyła membedakan tindakan persona menjadi dua macam, yakni actus hominis dan actus humanus voluntarius. Actus humanus voluntarius (man-acts) menunjukkan ada kesengajaan dalam diri persona dalam bertindak yang terlihat dalam dua faktor, yakni kesadaran (consciousness) dan kehendak (will). Tindakan persona memiliki kualitas moral. Moralitas tindakan manusia ini berkaitan erat dengan kodratnya sebagai manusia, yakni synderesis. Transendensi manusia dinyatakan melalui hati nuraninya (conscience). Artinya, melalui tindakannya, persona berkehendak dan memilih nilai yang baik. Kehendak inilah yang menjadi dasar dari self-possession dan self-governance. Dengan berkehendak, persona bergerak menentukan dirinya sendiri. Kehendak otentik manusia (“I will”) merupakan tindakan self-determination. Self-determination hanya mungkin dalam cakupan memiliki diri sendiri (self-possession). Dengan memiliki diri sendiri, persona dapat menentukan dirinya sendiri (self-governance). Pemenuhan diri (Self-fulfillment) terjadi dalam tindakan. Pemenuhan diri adalah soal moralitas tindakan. Dengan bertindak benar, persona semakin memenuhi dirinya. Di sini, suara hati juga berperan untuk menentukan pilihan dan kehendak untuk mencapai pemenuhan diri yang benar. Kepenuhan diri ini sinonim dengan merealisasikan kebaikan, dimana persona menjadi baik pada dirinya sendiri. Tindakan memiliki dua nilai personalistik, yakni ontologis dan aksiologis. Nilai ontologis berarti tindakan itu secara fundamental bernilai dalam tindakannya itu sendiri. Sedangkan nilai aksiologis, karena dalam setiap tindakan nilai fundamental yang terkandung di dalamnya itu membentuk persona yang terus-menerus memenuhi dirinya sendiri dalam setiap tindakannya. xii Bagi Wojtyła, antara persona dan tindakan sangat berhubungan. Hubungan ini nampak dalam partisipasi. Partisipasi merupakan transendensi dan integrasi yang mana persona diwujudnyatakan dalam tindakan “bersama dengan yang lain” (“together with others”). Partisipasi mensyaratkan relasi. Wojtyła menyebutkan adanya dua macam relasi, yakni relasi “I – You” dan “We”. Relasi “I – You” menggambarkan adanya dua dimensi, yakni refleksitas dan resiprositas. Relasi “We” secara khusus menandakan dimensi sosial dari tindakan bersama yang lain. Relasi “I – You” dan “We” menunjukkan adanya suatu communio personarum. Relasi personal menunjukkan dimensi sosial dan secara langsung mengarah pada kebaikan bersama (common good) di dalam tindakan cinta.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Department: | ["eprint_fieldopt_department_Faculty of Philosophy" not defined] |
Uncontrolled Keywords: | persona, tindakan, pengalaman, suppositum humanum, actus humanus voluntarius, kesadaran, kehendak, self-fulfillment, partisipasi |
Subjects: | General > B Philosophy (General) |
Divisions: | Faculty of Philosophy > Philosophy Science Study Program |
Depositing User: | Vincentius Widya Iswara |
Date Deposited: | 08 Sep 2014 06:37 |
Last Modified: | 21 Nov 2014 05:55 |
URI: | https://repository.ukwms.ac.id/id/eprint/19 |
Actions (login required)
View Item |